Kamis, 03 Mei 2018

Puluhan Masyarakat Hadang Eksekusi Tanah di Tabing

Polresta Fasilitasi Mediasi Kedua Belah Pihak Bersengketa

Padang --- Puluhan masyarakat kaum suku Malinsiang Kelurahan Parupuak Tabiang Koto Tangah Kota Padang melakukan penghadangan untuk menghentikan proses eksekusi terkait putusan Pengadilan Negeri Padang, Kamis (3/5).

Masa yang menghadang eksekusi lahan seluas dua hektar itu dibantu pengamanan pihak Polresta Padang. Warga yang melakukan penolakan mengganggap lahan tersebut bukan milik Jusdin dan Dasril permana selaku pemenang putusan.

Pantauan Padang Ekspres di lokasi, puluhan warga itu memblokade jalan dan menghalangi petugas kepolisian yang sudah siap dengan water canon dan personil keamanan. Warga yang melakukan penolakan itu berorasi dan membentang spanduk penolakan terhadap lahan kosong tersebut. Serta memperlihat surat bukti perjanjian kesepakatan bersama dengan pihak penggugat tersebut.

Terlihat sejumlah masa membawa sejumlah alat untuk menolak eksekusi seperti kayu runcing, bom molotov dan perlengkapan lainnya. Tidak hanya itu masa juga melakukan pembakaran ban bekas persisnya di jalan dekat Asrama Haji.

"Kami menolak keras eksekusi ini, lahan ini milik kaum kami, mana dia Dasril itu, kami tidak takut," ucap salah seorang masa yang berorasi.

Masa yang tersulut emosi, semakin tidak membentuk kemarahan tatkala pihak kepolisian yang sudah siap untuk mengeksekusi.

Esksekusi di Tunda

Mengigat kondisi yang terus memanas. Polresta Padang melalui Waka Polresta Padang  terpaksa menunda eksekusi setelah melakukan dialog dengan mamak kepala waris yang melakukan penolakan itu. Tidak hanya itu, warga yang menolak juga memperlihat bukti-bukti perjanjian.

Kabag Ops Polresta Padang, Kompol Ediwarman menjelaskan, pihaknya terpaksa mengambil keputusan menunda eksekusi untuk mengantisipasi kondisi yang tidak diinginkan.

"Tapi kami berdilog, eksekusi ini tidak dihentikan, tapi ditunda karena kondisi yang tidak kondusif. Kami akan memediasi pertemukan kedua belah pihak untuk membuat kesepakatan," ucapnya setelah mengintruksikan personil Polresta Padang untuk mundur dari lokasi eksekusi.

Lebih lanjut, sebelum proses eksekusi dilakukan, pihaknya telah melakukan negosiasi kaum suku Malinsiang dan memperlihatkan sejumlah bukti surat-surat tentang tanah tersebut yang mencakup di dalamnya perdamaian dengan pihak terkait.

"Kami juga melakukan negosiasi dengan pihak kaum Malinsiang serta memperlihatkan bukti-bukti. Kita tidak mencampuri masalah hukum tanah ini, karena secara hukum tanah ini sudah inkrah (berkekuatan hukum tetap). Namun keputusan yang kita ambil ini untuk menunda eksekusi dalam rangka mencari jalan tengah, dan kita tidak mengkedepankan sikap represif," lanjutnya.

Situasi yang sempat memanas semanjak pukul 09.00 pagi hingga pukul 11.30 itu. Warga yang melakukan penolakan mundur dan memadamkan kembali api yang menyala dan kembali ke pemukimannya masing-masing.

Sementara itu, Nofrialdi Nofi Sastra, mamak kepala waris warga yang melakukan penolakan eksekusi lahan tersebut menjelaskan tentang keberadaan tanah yang dipersengketakan.

"Tahun 2003 kami sudah sampai di pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan terakhir Mahkamah Agung. Tapi sejak perkara ini pertama digelar, mereka (Dasril Permana) itu selalu meminta damai dengan kami. Dan kami menyepakati," sebut Nofrialdi.

Dalam upaya perdamaian yang berlansung pada tahun 2006 dimediatori oleh Nasril Luhuk, Amriayono dan Fauzi Bahar (Walikota Padang kala itu). 

"Kenapa kami ingin damai, karena kami menerima kabar bahwa asrama haji ini ingin diperluas maka memperlukan tanah ini, makanya kami bersedia hingga perkara ini mencuat di pengadilan," tuturnya.

Setelah melakukan perdamaian kala itu, pihak warga yang menolak eksekusi itu mengirimkan surat ke Pengadilan Negeri (PN), Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung.

"Surat yang kami kirimkan isinya meminta membatalkan seluruh perkara yang ada. Artinya dengan perjanjian perdamaian ini semua masalah tidak ada, kedua kaum sepakat kembali membangun hubungan baik," tuturnya,

Tidak hanya itu disebutkannya, dalam surat perjanjian itu turut sepakati jika tanah di jual maka kaum suku Malinsiang mentapat bagian 65 persen dan pihak Dasril mendapat 35 persen.

"Mereka itu setuju dan ditanda tangani oleh mamak kepala waris dan diketahui anggota kaum. Dasril Permana ikut membuat perjanjian  damai ini. Namun, ketika menulis surat perdamian ini dia (dasril) tidak datang," sebutnya.

Setelah itu, keluar keputusan MA turun dan memengkan pihak Dasril. Hingga penggugat tidak mau dan menolak surat perdamaian.

"Mereka mencari masalah. Sampai kita mendapat tiga kali almaning/peringatan untuk dieksekusi, dari Kepala PN," terangnya.

Kemudian diungkapkan Nofrialdi,  pada Oktober 2016, pihak pemohon (Dasril) minta perdamaian dimediatori oleh Emzalmi dan merubah kesepakatan kesepakatan dari 65 persen untuk Kaum Malinsiang dan 35 persen untuk Dasril berubah 55 untuk kita 45 untuk dia. 

"Kami sudah mengalah, karena sudah 13 tahun berperkara kami sudah capek. Namun selesai perjanjian perdamaian dia malah hilang lagi, itu kali kedua Dasril Permana hilang. Sudah empat kali rencana eksekusi. Setiap eksekusi kami selalu digertak, masyarakat banyak yang jantungan dengan kondisi seperti ini," sebutnya. 

Oleh sebab itu, melalui hasil pembicaraan pihaknya (Mamak Kepala Waris) dengan Waka Polresta menjanjikan pertemuan untuk mencari kebenaran data. 

"Yang jelas, apapun hasilnya kami tetap menolak eksekusi, tanah kaum kami tidak bisa direbut, karena tanah ini  tanah pusako. Kami memiliki hasil vonis PN tahun 1919 terkait tanah ini," ujarnya. (cr17)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Yusafni Didapati Keluar Rutan Tanpa Pengawalan

Yusafni Didapati Keluar Rutan Tanpa Pengawalan Klarifikasi : Kakanwil Kemenkum dan Ham Sumbar, Dwi Prasetyo Santoso (Tengah) di dampin...